Thursday, October 26, 2006

Belitan Iblis Terhadap Kaum Sufi Yang Meninggalkan Ilmu


Ketahuilah, bahwa belitan Iblis yang pertama terhadap manusia ialah dengan menghalang mereka daripada ilmu, sebab ilmu itu adalah cahaya. Apabila terpendam cahaya-cahaya ilmu pada diri manusia Akan kelam kabutlah ia di dalam kegelapan dikelirukan Iblis sesuka hatinya.Hal ini telah menimpa setengah kaum sufi dalam jurusan ini dari berbagai-bagai penjuru:
Penentangan yang terbesar sekali terhadap Allah azzawajalla ialah mencegah manusia dari jalan Allah, dan sejelas jelas jalan kepada Allah itu ialah menuntut ilmu, kerana ilmu itu adalah petunjuk kepada pengenalan Allah dan syariat Allah, tetapi yang sungguh menyesalkan orang yang menegah orang menuntut ilmu itu tidak sedarkan apa yang dibuatnya

Pertama:

Mereka melarang orang ramai dari golongannya pada mempelajari ilmu pengetahuan sama sekali, serta menggambarkan kepada mereka, bahwa menuntut ilmu itu perlu kepada susah payah, dan yang sebaik-balk buat mereka kerihatan semata. Mereka lalu memakai pakaian jubah sufi, dan duduk berihat di atas permaidani pengangguran.

Di antara kaum sufi ada yang mencela para ulama, kerana mereka berpendapat bahwa mengerjakan diri dengan ilmu pengetahuan adalah salah. Mereka lalu mengatakan, bahwa ilmu kita datang tanpa orang tengah, kerana mereka menganggap menuntut ilmu itu jalannya sangat jauh. Maka cukuplah bagi mereka untuk memakai pakaian sufi, menampal jubah, menahan diri dari makan minum serta melahirkan kezuhudan.

Kedua:

Segolongan yang lain rasa mencukupilah dengan ilmu yang sedikit, maka dengan sebab itu terluputlah daripada mereka banyak dari keutamaan ilmu, sebab mereka merasa cukup dengan sedikit pengetahuan dari selok-belok Hadis Nabi saw.

Mereka menganggap pula bahwa mencari ketinggian sanad dan duduk mengumpul ilmu Hadis itu sama dengan mencari pangkat dan kedudukan yang termasuk mengejar dunia, kerana perasaan hati sangat gemar kepadanya.

Untuk mendedahkan belitan ini, dikatakanlah bahwa setiap kedudukan itu mestilah ada keutamaannya, dan padanya memang ada bahayanya. Sebab kepemimpinan, kehakiman dan duduk memberi fatwa, semua itu ada bahayanya, dan buat diri ada kelazatannya, di samping itu ada keutamaan besarnya, seperti duri yang berada di samping bunga ros yang indah. jadi wajarlah bagi manusia menuntut keutamaan itu, dan di samping itu menjaga diri daripada bahaya yang tersemat padanya.

Adapun sifat sukakan kedudukan yang terdapat dalam tabiat itu, maka ia memang dilengkapkan pada manusia untuk menangkap keutamaan itu, sama sebagaimana diletakkan suka berkahwin untuk memperoleh anak. jadi dengan ilmu itu nanti akan berdiri teguhlah maksud yang tersemat di dalam hati si alim itu, sebagaimana kata Yazid bin Harun:

Kami menuntut ilmu bukan kerana Allah, namun ilmu itu mengabaikan kecuali dengan niat kerana Allah! Maksudnya, nanti ilmu itu akan menunjuk kita supaya berikhlas di dalam penuntutan ilmu itu. Siapa yang menuntut dirinya untuk memutuskan kepada apa yang tersemat pada tabiatnya, tentulah tidak mungkin.

Ketiga:

Bahwa setengah kaum sufi lagi mewahamkan kepada kaum mereka, bahwa yang dimaksudkan itu salah beramal. Dan mereka tiada mengetahui bahwa bekerja dengan ilmu itu adalah amal yang paling sempurna.

Kemudian si alim itu, kendatipun perjalanan amalnya tidak sempurna, namun dia sentiasa berdiri atas yang benar, padahal si abid yang beramal tanpa ilmu itu tidak berdiri atas yang benar.

Keempat:

Bahawa mereka menampakkan kepada ramai dari golongan mereka, yang orang alim itu tidak ada padanya ilmu batin, sehingga setengah mereka ada yang berkhayal dibelit oleh waswasnya, lalu mengatakan:

Telah membicara kepadaku oleh hatiku daripada Tuhanku!

Sebab mereka menamakan ilmu syariat itu ilmu yang zahir. Dan mereka menamakan pula apa yang terbisik di dalam hatinya itu sebagai ilmu batin, yang mereka menganggapnya lebih dekat kepada keimanan.

Hujjah mereka ialah sebuah Hadis yang diriwayatkan daripada Saiyidina All bin Abu Thalib r. a. daripada Nabi saw katanya:

Ilmu batin itu adalah rahasia dari rahasia-rahasia Allah azzawajalla, dan suatu hukum dari hukum-hukum Allah Ta'ala, yang dilemparkan Allah azzawajalla ke dalam hati sesiapa yang disukai Nya dari para walinya.

Berkata penulis:

Hadis ini tidak ada asalnya daripada Nabi saw dan dalam sanad-sanadnya terdapat ramai orang yang tidak dikenali.

Sekali peristiwa, ada seorang alim ahli ilmu Fiqh, datang kepada Abu Yazid, dan berkata kepadanya:

Ramai orang yang menceritakan kepadaku tentang berita-berita yang ajaib daripadamu!

Jawab Abu Yazid:

Yang belum diceritakan kepadamu malah ada lebih banyak lagi.

Orang alim itu berkata lagi:

Hai Abu Yazid! Ilmumu ini semuanya datang dari mana, siapa yang engkau meriwayatkan daripadanya atau mempelajarinya?

Jawab Abu Yazid:

Ilmuku dari pemberian Allah Ta’ala, dan sesuai dengan sabda Nabi saw:

Sesiapa yang beramal dengan apa yang dia tahu, akan diberi Allah kepadanya ilmu yang belum dia mengetahui.

Begitu pula dari Hadis Nabi s. a. w. yang lain, katanya:

Ilmu itu ada dua: Yang zahir, iaitu hujjah Allah kepada sekalian makhluk ya. Dan ilmu batin, iaitu ilmu yang berguna. Sedang ilmu, duhai tuan syaikh, adalah ilmu yang dinukil dari lisan kepada lisan ilmu pengetahuan, padahal ilmuku itu pula suatu ilham daripada Allah azzawajalla.

Maka berkata si alim itu pula:

Ilmu daripada orang-orang kepercayaan, daripada Rasulullah saw. daripada jibrail, daripada Tuhanku azzawajalla.

Jawab Abu Yazid:

Hai tuan syaikh! Nabi saw mempunyai ilmu yang tidak pernah diketahui oleh jibrail dan tidak pula Mikail.

Jawab orang alim itu:

Benar itu, akan tetapi aku ingin mengesahkan ilmumu itu, yang engkau katakan daripada Allah Ta’ala.

Jawab Abu Yazid:

Baiklah, aku akan terangkannya kepadamu sekadar yang dapat menetap di hatimu makrifatnya.

Kemudian katanya lagi:

Hai tuan syaikh! Engkau tentu sudah tahu bahwa Allah Ta’ala bercakap-cakap kepada Nabi Musa a.s. dan bercakap-cakap juga kepada Nabi Muhammad saw yang telah melihatnya dengan nyata. Dan bahwasanya mimpi para Nabi itu sama dengan wahyu.

Jawab orang alim itu:

Itu semua benar.

Kata Abu Yazid lagi:

Tidakkah engkau mengetahui bahwa bicara kaum shiddiqin dan para Nabi itu semuanya dengan ilham daripada Allah Ta’ala, dan berupa faedah-faedah yang timbul dari hati-hati mereka, sehingga Allah membolehkan mereka berkata-kata dengan kalam hikmat yang mendatangkan banyak kebaikan kepada ummat. Untuk menguatkan apa yang aku katakan ini, iaitu apa yang diilhamkan Allah Ta’ala kepada ibunya Musa supaya meletakkan Musa di dalam tabut lalu membuangnya (ke sungai Nil), kemudian mengilhamkan Nabi Khidhir dengan seorang budak di atas kapal itu, kemudian terhadap benteng yang hendak roboh itu, sesuai dengan Firman Allah yang bermaksud:

Dan tiadalah aku membuatnya dengan perintahku sendiri! (Al-Kahf. 82)

Pernah pula Saiyidina Abu Bakar r.a. mengatakan kepada Aisyah r.a. bahwa si puteri Kharijah itu akan mengandungkan anak perempuan. Dan Allah mengilhamkan Saiyidina Umar bin Al-Khattab r.a. lalu dia menyeru kepada pendaki bukit dengan berkata: Wahai si pendaki bukit!

Dari sebuah berita mengatakan, bahwa ada seorang datang ke majlis Abu Yazid, lalu mendengar ramai orang yang mengatakan:

Si fulan menemui si fulan, lalu mengambil banyak dari ilmu-ilmunya, dan mencatit banyak dari pelajarannya.

Lalu Abu Yazid berkata:

Kasihan mereka itu, mereka mengambil ilmu itu dari yang mati daripada yang mati, tetapi kami mendapatkan ilmu kami daripada Yang Hidup (Allah) yang tidak akan mati.

Berkata penulis:

Bicara si ahli Fiqh di dalam cerita yang pertama itu menunjukkan kecetekan ilmunya, sebab jika dia seorang alim, tentulah dia mengetahui bahwa ilham kepada sesuatu itu adalah tidak bertentangan dengan ilmu, dan tidak sampai menjadi sempit begitu sekali.

Memang tidak dapat diingkari, bahwa Allah Ta’ala memberikan sesuatu kepada manusia sebagai ilham, sebagaimana kata Nabi saw:

Sesungguhnya ada di antara ummat-ummat itu orang-orang yang membicarakan akan sesuatu (dengan ilham), dan kalau pun ada pada ummatku kini, maka dia itu adalah Umar.

Maksud dari Tahdits, diberikan ilham untuk mengatakan sesuatu, iaitu ilham yang balk, tetapi jika orang yang didatangi ilham itu bertentangan pula dengan ilmu pengetahuan, maka tidak boleh diikutkan atau diamalkan dengannya.

Begitu pula dengan si Khidhir kerana dikatakan bahwa dia itu seorang Nabi, dan tentulah tidak boleh diingkari bahwa Nabi itu diberikan pengetahuan dengan wahyu dari hal akibat sesuatu perkara. Dan ilham itu bukanlah sama sekali ilmu, bahkan dia adalah buah daripada ilmu dan taqwa, sehingga orang yang diberikan ilham itu ditunjuk untuk melakukan yang baik dan yang lurus.

Tetapi kalau ada orang yang mengatakan, dia sengaja meninggalkan ilmu kerana bergantung sepenuhnya kepada ilham dan bisikan hati, maka semua itu tidak boleh dikira.

Sebab kalaulah tidak kerana ilmu yang dinukil itu, niscaya tidak boleh kita mengenal apa yang terdapat atau terlintas di dalam hati itu, apakah dia itu dari ilham yang balk ataupun waswas dari syaitan.

Ketahuilah, bahwa ilmu yang didapat dengan ilham yang dilemparkan ke dalam hati tidak cukup tanpa ada ilmu yang dinukil itu, yakni dipelajari itu.

Sama seperti ilmu-ilmu yang dipadankan dengan akal fikiran tidak dapat dicukupi tanpa adanya ilmu syariat, kerana umpama ilmu akal itu seperti makanan, sedang ilmu syariat seperti penawar atau ubat, jadi tidak dapat yang satu menggantikan yang lain.

Adapun kata mereka, bahwa kita mengambil ilmu menerusi orang yang sudah mati daripada yang mati; maka yang paling tepat untuk dinisbahkan si pengata ini, bahwa dia sendiri tidak faham apa yang tersimpul dalam kata-katanya itu sendiri, kalau tidak tentulah ia tiada lain melainkan suatu tikaman yang berat terhadap syariat.

Ada yang mengatakan dari kaum sufi ini, bahwa bekerja dengan ilmu itu adalah suatu kesalahan, sebab kata mereka bahwa ilmu kita didapati tanpa orang tengah. Padahal orang-orang terdahulu yang kuat tasawufnya melainkan mereka juga orang-orang terulung dalam ilmu-ilmu Al-Quran, Fiqh, Hadis dan Tafsir.

Tetapi kaum yang ini pula suka menganggurkan diri daripada ilmu-ilmu itu.

Berkata Abu Hamid:

Ketahuilah, bahwa kecenderungan ahli tasawuf itu tertumpu kepada ketuhanan, bukan kepada pembelajaran, sebab itu mereka tidak belajar dan tidak menumpukan perhatian mereka untuk mendalamkan diri dalam sesuatu ilmu dan mendapatkan apa yang sudah dihasilkan oleh para pengarang buku-buku ilmu pengetahuan, bahkan mereka mengatakan: jalan mereka ialah mengutamakan mujahadah dengan mengikis segala sifat yang tercela dari diri mereka dan memutuskan semua perhubungan mereka dengan dunia serta mengemukakan perhatian mereka sepenuhnya kepada Allah Ta’ala dengan sepenuh hakikatnya, iaitu dengan seseorang itu memutuskan perhatiannya daripada isterinya, anak-pinaknya dan harta kekayaannya serta daripada ilmu pengetahuan, lalu duduk bersendirian di suatu sudut, membuat semua yang fardhu dan sunnat, dan tidak disibukkan fikirannya dengan membaca Al-Quran, dan tidak memerhatikan keadaan dirinya, tidak mencatit Hadis atau sebagainya, kecuali menetapkan diri atas ucapan `Allah! Allah! Allah!' sehingga dia sampai kepada suatu ehwal yang meninggalkan menggerakkan lisan, kemudian memadamkan dari hatinya gambaran lafaznya.

Berkata penulis:

Sungguh sayang sekali kata-kata serupa ini boleh keluar daripada seorang ahli Fiqh, yang tidak pula menundukkan buruknya bicara itu. Sebab kata-kata itu sebenarnya menggalakkan untuk melipat hamparan syariat yang menganjurkan untuk memperbanyak membaca Al-Quran dan menuntut ilmu.

Namun begitu, aku melihat ramai juga orang yang berdiri di atas mazhab ini dari kaum yang termulia dari ulama yang di banyak kota-kota, bahawa mereka juga meminati jalan tasawuf ini, tetapi mereka tidak pula meninggalkan bekerja untuk menuntut ilmu pengetahuan lebih dahulu.

Kalau mengikut teori Abu Hamid akan terdedahlah jiwa itu dengan bermacam-macam waswasnya dan pengkhayalannya, dan tidak ada pada jiwa itu ilmu yang dapat menolak semua itu, lalu Iblis pun akan bermaharajalela melemparkan belitannya, sehingga digambarkan waswas itu sama dengan bicara ilham dan munajat.

Memang kami juga tidak mengingkari, bahwa jika hati itu suci bersih, nescaya akan terasaklah ke dalamnya cahaya-cahaya petunjuk Allah, lalu si tuan punya hati itu akan memandang dengan cahaya Allah, tetapi haruslah terlebih dahulu dapat dibersihkannya dengan kekuatan ilmu, bukan dengan hal-hal yang bertentangan dengan ilmu itu.

Sebab melaparkan diri secara keterlaluan itu, menyengkang mata dalam peribadatan dan menghilangkan masa dalam angan-angan adalah hal-hal yang dilarang oleh syariat, dan tentu sekali tidak akan dapat faedah daripada pembawa syariat itu sesuatu yang dinisbahkan kepada apa yang dilarangnya, sama seperti tidak dibolehkan rukhsah, atau keringanan dalam pelayaran yang dilarang oleh syarak.

Kemudian memang tidak ada pertentangan antara ilmu dengan riyadhah, yakni menundukkan diri ke jalan Allah, bahkan ilmu itu membimbing kepada cara-cara beriyadhah dan membantu membetulkannya.

Akan tetapi syaitan telah membelit setengah kaum sehingga berjaya untuk menjauhkan mereka daripada ilmu pengetahuan itu, lalu mereka menceburkan ke dalam riyadhah dengan sesuatu yang dilarang oleh ilmu, sedang ilmu itu jauh dan perjalanan mereka itu.

Ada kalanya mereka melakukan perbuatan yang terlarang dalam syariat, dan ada kalanya mereka mengutamakan yang selainnya lebih utama dari apa yang mereka lakukan itu. Sepatutnya yang boleh menentukan semua itu ialah ilmu, padahal mereka telah meninggalkannya, dan kami berlindung din daripada kehinaan ini.

Telah memberitahuku Ibnul Nashir, daripada Abu Ali bin Al-Banna, katanya:

Ada seorang lelaki di pasar Silah yang mengatakan, bahwa Al-Quran itu hijab, dan Rasul itu pun hijab, tiada lagi dengan kami selain hamba dan Tuhan saja. Maka ramailah orang yang terfitnah dengan perjalanan orang ini, lalu mereka pun meninggalkan ibadat, sehingga apabila ketara perkaranya, dia pun lari menyembunyikan din kerana takut dibunuh orang.

Berkata Dhirar bin Amru:

Sesungguhnya ada suatu kaum yang meninggalkan ilmu pengetahuan dan tidak suka duduk bersama-sama dengan orang-orang ahli ilmu, lalu mereka menetap di mihrab masjid dengan bershalat dan berpuasa, sehingga kering kulit mereka melekat pada tulangnya disebabkan mereka tidak mahu mengikut sunnah Nabi saw. maka dengan sebab itu mereka pun binasa.

Demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia, tiada seseorang beramal sedang dia berada di atas kejahilan, melainkan akan terjadi apa yang merosakkannya lebih banyak daripada apa yang memperbaikinya.

Kritik perjalanan Sufi yang meninggalkan bekerja dengan ilmu

Kebanyakan kaum Sufi membezakan antara syariat dan hakikat, dan ini adalah suatu kejahilan dari pengatanya, sebab syariat itu adalah kesemuanya hakikat.

Tetapi jika mereka maksudkan yang demikian itu sebagai rukhshah (kelonggaran) dan azimah (keazaman), maka kedua-duanya juga terkira syariat. Hal ini juga telah diingkari oleh sekumpulan orang yang terdahulu dari mereka dalam hal membelakangi tentang yang zahir dari syarak.

Dan diberitakan bahwa Abul Hasan bin Salim pernah mengatakan: Telah datang seorang lelaki kepada Sahel bin Abdullah dan di tangannya ada pena dan buku, lalu dia berkata kepada Sahel:

Aku datang ke mari untuk menulis sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat kepadaku.

Dia pun menjawab:

Tulislah, jika engkau mampu menemui Allah dan di tanganmu ada pena dan buku, maka cubalah!

Kata orang itu pula:

Hai Abu Muhammad! Berikanlah aku suatu faedah!

Jawabnya:

Dunia ini semua bodoh kecuali apa yang ada padanya ilmu. Dan ilmu semuanya hujjah, kecuali apa yang dibuat dengan amalan. Dan amalan semuanya tergantung, kecuali apa yang daripadanya berdiri atas Al-Quran dan Sunnah, dan Sunnah pula berdiri di atas taqwa.

Dan berkata lagi Sahel bin Abdullah:

Peliharalah yang hitam di atas yang putih, dan tiada seorang yang meninggalkan yang zahir melainkan dia menjadi zindik.

Dan daripada Sahel bin Abdullah lagi:

Tiada suatu jalan yang menuju kepada Allah yang lebih utama daripada ilmu. Jika engkau memesongkan diri dari jalan ilmu itu hanya selangkah saja, niscaya engkau akan hanyut di dalam kegelapan selama empat puluh pagi.

Berkata Abu Bakar Ad-Daqqaq:

Aku pernah dengar Abu Said Al-Kharraz mengatakan:

Setiap yang batin bertentangan dengan yang zahir, maka dia itu batil, yakni tertolak.

Dan daripada Abu Bakar Ad-Dagqaq lagi:

Pernah aku melalui di padang pasir tempat buangan kaum Bani Israel, lalu terlintas di dalam hatiku, bahwa ilmu hakikat itu bertentangan dengan syariat, maka terdengar olehku suatu suara di bawah sebuah pohon yang mengatakan, bahwa setiap hakikat yang tidak diikuti oleh syariat, maka dia itu adalah kufur.

Berkata penulis:

Imam Abu Hamid Al-Ghazali telah mengingatkan kita di dalam kitab Al-Ihya', katanya:

Sesiapa yang mengatakan bahwa hakikat itu bertentangan dengan syariat, ataupun yang batin bertentangan dengan yang zahir, maka dia kepada kufur lebih dekat daripada hakikat.

Kata penulis:

Semua ini adalah pendapat yang buruk, kerana syariat itu diletakkan Allah untuk maslahat semua makhluk dalam hal-hal peribadatan mereka. Jadi hakikat yang ditujuinya itu tiada lain daripada sesuatu yang hidup dari yang dilemparkan syaitan ke dalam diri mereka, dan siapa yang mencari hakikat di luar syariat, maka dia adalah manusia yang terpedaya dan tertipu.'

Belitan Iblis terhadap kaum Sufi yang mengingkari menuntut ilmu

Berkata penulis:

Apabila kaum sufi ini terpecah antara yang malas untuk menuntut ilmu dengan yang menduga bahwa ilmu itu ialah apa yang meresap di dalam batin dari hasil beramal ibadat, dan mereka namakan ilmu itu, iaitu ilmu batin, dan kerana itu pula mereka mencegah pengikutnya daripada mempelajari ilmu zahir.

Berkata Ja'far Al-Khuldi:

Sekali peristiwa aku datang kepada Abbas Ad-Dauri, dan ketika itu aku masih kecil lagi, lalu aku menulis apa yang aku dengar dalam majlis taklimnya. Kemudian, apabila aku keluar, aku telah ditemui oleh orang-orang yang mendengar bersama-samaku dari kaum sufi itu, lalu dia bertanya:

Apa yang engkau tulis tadi itu?

Aku pun menunjukkan kertas itu kepadanya. Maka dengan tiba-tiba mereka menjadi marah dan berkata:

Engkau tinggalkan ilmu dalam hati, dan engkau bergantung kepada ilmu dalam kertas.

Mereka lalu mengoyak-ngoyakkan kertas itu.

Hal itu sungguh mengecewakan hatiku, dan aku pun tidak pergi mendengar di majlis taklim Abbas itu lagi.

Berkata penulis:

Penentangan yang terbesar sekali terhadap Allah azzawajalla ialah mencegah manusia dari jalan Allah, dan sejelas jelas jalan kepada Allah itu ialah menuntut ilmu, kerana ilmu itu adalah petunjuk kepada pengenalan Allah dan syariat Allah, tetapi yang sungguh menyesalkan orang yang menegah orang menuntut ilmu itu tidak sedarkan apa yang dibuatnya.

Berkata Abdullah bin Khafif:

Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu pengetahuan itu, dan jangan perdulikan tegahan kaum sufi itu. Aku dahulu pernah menyembunyikan alat tulis dan kertas dalam pakaianku, dan aku datang ke majlis ilmu, dan jika mereka tahu aku ada membawa sesuatu, mereka memarahiku, dan mereka katakan:

Engkau takkan berjaya! Kemudian ada masanya, mereka memerlukan kepadaku mengenai sesuatu.

Berkata Imam Ahmad bin Hanbal ketika dia lihat dakwat dan pena yang dibawa oleh penuntut ilmu:

Ini semua adalah lampu-lampu Islam!

Bahkan dia sendiri selalu kelihatan membawa alat-alat tulis itu bersamanya, meskipun usianya sudah terlalu tua. Lalu ada orang yang mengatakan kepadanya:

Hai bapaknya Abdullah! Sampai bilakah engkau terus membawa pena dan dakwat ini?!

Jawabnya:

Sampai masuk ke dalam kubur.

Mengenai sabda Rasulullah saw yang berikut:

Segolongan dari ummatku akan terus terbantu, tidak akan membahayakan mereka sesiapa yang menghinakan mereka sehinggalah datangnya hari kiamat!

Maka Imam Ahmad memberikan komentarnya:

Orang-orang ini, kalau bukan dari para ahli Hadis, aku tidak tahu siapa lagi selain mereka.

Dalam katanya yang lain:

Kalau bukanlah mereka dari kumpulan ahli Hadis yang tokoh-tokoh, maka siapa lagi?!

Apabila disampaikan kepada mereka:

Ada seorang yang mencerca kaum ahli Hadis itu, dan dikatakannya mereka itu adalah kaum yang jahat!

Maka disampuk oleh Imam Ahmad:

Orang yang mengatakan begitu ialah seorang yang zindik.

Dan berkata Imam Syafi'i rahimahullahu-ta'ala:

Apabila aku melihat seorang dari kumpulan ahli Hadis, maka seolah-olahnya aku melihat seorang dari kumpulan sahabat Rasulullah saw.

Dan berkata Yusuf bin Asbath pula:

Dengan para penuntut ahli Hadis itu, Allah Ta’ala menolakkan bala bencana dari muka dunia ini.

0 Comments: