Monday, March 26, 2007

Sebuah kampung bernama Besilam


Tersebutlah sebuah kampung bernama Besilam. Letaknya, nun, di Tanjungpura sekitar 60 km dari Medan Sumatera Utara. Kampung tersebut sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan dusun-dusun lain di pelosok Indonesia: bersahaja di tengah kerimbunan pepohonan. Sebagian cat rumah panggung memudar disengat masa. Lalu apa yang istimewa dari kampung tersebut? Besilam memiliki kekayaan makna ketika sederhana. Tak percaya?


Simaklah kisah berikut: Syahdan seorang ulama legendaris, bernama Syeikh Abdul Wahab Rokan, hadir di Sumatera. Ia terdidik dengan ilmu agama sedari kecil. Perangainya berbeda dibandingkan kebanyakan kanak-kanak. Ia lebih suka mengasingkan diri dengan kitab agama daripada bermain. Dibandingkan teman seperguruan, Abdul Wahab Rokan sangat patuh dan menghormati guru, sebagai sumber ilmu. Tak mengherankan, saat menuntut ilmu di Hijaz (Mekkah), ia dinyatakan lulus dan berhak menerima ijazah tarekat Naqsyahbandiyah. Dengan demikian, Wahab berhak menyebarkan tarekat yang mendidik keras pengikutnya di jalan agama tersebut.

Sepulang dari Mekkah, Wahab bersahabat dengan Raja Deli, bahkan, dihadiahkan kawasan liar untuk pemukimannya. Wahab pun membangun kawasan itu dengan membuka perkampungan. Ia menabalkan salah satu nama pintu di Masjidil Haram kepada kampung tersebut: Babussalam. Babussalam yang lama-kelamaan lebih dikenal dengan panggilan Besilam segera menjadi pusat perhatian. Namanya, seperti juga pendirinya, harum dan berwibawa. Tak hanya di Sumatera, nama tersebut berbinar hingga ke Malaysia. Kenapa?

Seperti jamaknya kisah para syeikh di Sumatera, Abdul Wahab Rokan menjadikan kampung yang dibukanya itu, sebagai pusat peribadatan. Di sana, di balik rimbunan pepohonan, ia mengajarkan jalan ruhani menuju-Nya melalui tarekat Naqsyabandiyah. Muridnya mengalir dari pelbagai penjuru: mulai dari pelosok di Sumatera hingga Malaysia. Babussalam kini tidak sekadar sejarah. Siapapun yang berkunjung ke sana, dan mampu melihat dengan mata hati, niscaya menyaksikan tanda-tanda kemahabesaran-Nya.

Simaklah: penduduk lama Medan, hingga kini mensandingkan imej jalan ruhani terhadap Babussalam. Kendati pendirinya telah hampir seratus tahun wafat, ritual kehidupannya tetap seperti semula ada: di tengah keterpencilan dan kerimbunan pepohonan, para pencahari jalan ruhani, hingga kini tetap menuju ke sana. Seperti para pendahulu, murid-murid tarekat mengalir dari pelbagai penjuru. Dengan bimbingan mursyid, mereka mengasingkan diri di rumah panggung, menuju pencaharian jalan kepada-Nya. Laku mereka sehari-hari ialah mencelupkan ruh kepada lautan dzikir: Allah, Allah, Allah, Allah.

Di saat adzan berkumandang, para pencahari jalan kepada-Nya itu, keluar dari rumah-rumah panggung. Mereka berduyun dengan wajah yang bercahaya menuju ke masjid. Sedangkan penduduk setempat segera menghentikan kesibukan perniagaan, untuk menunaikan shalat berjamaah. Semua ini menjadi karunia-Nya terhadap pendiri kampung yang hingga kini bersisa kendati Abdul Wahab Rokan telah wafat. Begitulah ritus kehidupan sehari-hari di Babussalam. Kehidupan mengalir damai. Tiada gegas kesibukan.

Tiada penyakit hati yang menyembul: mengapa si polan kaya, saya tidak. Kenapa si X menjadi penguasa padahal tidak ada apa-apanya. Penyakit sosial semacam itu teredam dengan laku peribadatan dan lautan dzikir. Pernahkah Anda menyaksikan kampung yang berjarak dari gemuruh penyakit sosial? Saya beruntung pernah ke sana. Seseorang dari gemuruh kehidupan metropolitan ketika sejenak singgah ke sana, merasakan keteduhan yang asing, kesejukan peribadatan. Maka bukalah pori-pori batin, resapi atmosfer yang menaungi kampung yang senantiasa berdzikir itu, niscaya kita merasakan keteduhan, kedamaian, apapun namanya tetapi sesuatu yang hilang ditelan keingaran Jakarta.

Kenapa Babussalam mampu memberikan atmosfer keteduhan? Pertanyaan yang menggelitik itu, menyebabkan saya semakin mempercayai kemahakuasaan-Nya. Gaya hidup yang memuja kehidupan duniawi menyebabkan kita serakah, bahkan, sulit membedakan yang hak dan batil. Di saat yang batil merasuki raga, dapatkah pori-pori ini menerima rangsangan dzikir? Ketika kegenitan duniawi menghalangi pandangan, mampukah mata hati menyaksikan aura ilahiyah? Kita seringkali sulit membedakannya.

Penyebabnya kita semakin tidak mengetahui mana yang hak dan batil. Perspektif hidup kita, ah pernahkan kita merenungkan betapa kita sangat didominasi budaya Eropah sejak abad pertengahan , dengan datuk-datuk pemikir sejak Descrates hingga Nicolo Machiaveli yang memuja rasionalitas, hak individual, hingga ukuran kehidupan berwujud pada materialisme, menyebabkan kita tidak mampu melihat dengan mata hati. Kita pun membangun rumah yang serba glamour seperti istana. Tapi, adakah seseorang yang terbiasa membuka pori-pori batin dan melihat dengan mati hati, betah di istana tersebut?

Rumah istana yang tidak mendapatkan cahaya-Nya justru senantiasa suram (pernahkah Anda menyaksikan rumah seperti istana tetapi merasa rangsang batin tidak tersentuh? Sebaliknya rumah mungil yang justru menawarkan kedamaian?) Bila Babussalam yang hanya kampung kecil menawarkan keteduhan, agaknya, karena ia menjadi muara dzikir. Laku ibadah menjadi denyut kehidupannya. Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Robbnya dan yang tidak, seumpama orang hidup dan orang yang mati (HR. Bukhari dan Muslim). Di hadis yang lain, kita pun menyimak pernyataan Rasul SAW, malaikat menghampiri setiap majelis dzikir.

Rasul SAW (HR Adailami) pun memperumpamakan seseorang yang tawakkal dalam dzikirnya laiknya dinaungi cahaya-Nya. Apa makna semua perumpamaan itu? Bila penduduk suatu negeri hidup dalam laku ibadah dan etika keislaman, insya Allah atmosfer di negeri itu teduh. Kampung yang berdzikir seperti Babussalam, kota suci yang menjadi pusat peribadatan seperti Mekkah dan Madinah, membuktikan tesis tersebut. Bahkan Mekkah yang saya andaikan sebagai simbol pergulatan kehidupan di dunia, senantiasa menawarkan kesejukan zamzam bagi pejalan ruhani.

Di tengah pergulatan hidup di sekeliling Masjidil Haram yang ingar dengan perniagaan, wahai pejalan ruhani yang dahaga, menyisihlah ke Masjidil Haram. Teguk keteduhan, kesejukan, dan keagungan yang menjadi atmosfer Masjid Haram. Apalagi di Masjid Nabawi yang laiknya sepotong surga di muka bumi ini. Semua itu menyebabkan pejalan ruhani yang dahaga senantiasa memiliki kerinduan, senantiasa ingin kembali ke kedua kota suci tersebut, untuk membasuh ruhnya dengan atmosfer ilahiyah.

Bila Babussalam, Mekkah maupun Madinah, mampu dinaungi atmosfer dan aura ilahiyah, mengapa kita tidak menciptakannya mulai dari rumah sendiri? Membiasakan bersama anggota keluarga shalat berjamaah, membaca Alquran dan membentuk majlis dzikir bersama anggota keluarga, insya Allah membuat rumah yang semula suram akan bercahaya. Bila setiap rumah telah bercahaya, maka insya Allah Jakarta menyemburatkan atmosfer dan aura ilahiyah, menjadi ibukota yang damai!

Read More...

Tuesday, October 31, 2006

CARA AHLI TASAUF/TARIQAT DALAM MENGENAL ALLAH


BAGI para ahli Tasauf/Tariqat ada cara tersendiri di dalam mengenal Tuhan. Mereka sama meletakkan dasar-dasar teori pengenalan Tuhan yang tidak bersifat rasional. Berbeda dengan dasar-dasar teori pengenalan Tuhan yang berlaku bagi kalangan ahli Theology Islam (Ilmu Tauhid) dan juga berbeda dengan yang berlaku bagi kalangan ahli syariat (Ilmu Fiqeh).
Bagi ahli Fiqah cara yang dipergunakan dalam mengenal Tuhan ialah

dengan jalan keterangan dari dalil-dalil Naqli (Al-Quran dan Hadis). Di dalam memperkuat kepercayaan maka Al-Quran tidak dipergunakan sebagai alasan-alasan logika atau dengan penyelidikan akal fikiran seperti yang
terjadi di dalam falsafah. Berbeza dengan Ahli Kalam (Tauhid), di dalam cara mengenal Tuhan banyak mempergunakan jalan penyelidikan akal fikiran. Dengan dasar ini maka mengetahui siapa Tuhan, meskipun belum tentu mereka dapat menyaksikan Tuhan. Termasuk dalam golongan yang memakai cara ini ialah kaum "Failasof".

Lain halnya dengan ahli Tasauf/Tariqat, mereka dapat mengenal Tuhan melalui dasar-dasar teori perasaan hati lantaran Ilham yang dilimpahkan Allah ke dalam jiwa manusia sebagai bentuk wujud pemberian rahmat-Nya. Hal ini lazimnya dapat dicapai oleh manusia ketika ia telah dapat sampai ke jinjang diri peribadinya dilepaskan dari segala macam bentuk godaan hawa nafsu lampau dengan memusatnya fikiran ingat kepada Zat Yang Maha Kuasa.

Keadaan yang demikian ini mengakibatkan segala macam rahsia di balik hijab cahaya Allah dan Nabi-Nya dapat tersingkap oleh dirinya dan diketahui secara jelas pada penglihatan mata hati. Sebagaimana orang yang melihat air jernih yang berada di dalam gelas yang jernih pula, sehingga segala sesuatu yang ada di balik gelas yang jernih itu dapat dilihat dengan terang-benderang.

Huraian di atas memberikan penegasan bahawa kerana adanya perbezaan dasar-dasar pengenalan Tuhan yang berlainan di antara ahli Fiqeh dan ahli Tauhid dengan ahli Tasauf/Tariqat, maka selayaknya sering menimbulkan perbezaan di dalam cara menyelidiki Tuhan dengan segala akibatnya (daripada sesuatu perbuatan).

Akhir-akhir ini perbezaan tersebut mulai terungkap lagi di sana sini. Ada sementara orang yang berbicara manis soal Tasauf/Tariqat dengan penuh kelicikan menggunakan gaya "ahli pemberi fatwa agama", sering menyampaikan pendapat, baik pada lisan atau pun tulisan yang menganggap Ulama' ahli Tasauf/Tariqat dengan terang-terangan menyesatkan ummat terutama bagi para jamaahnya.

Perlu diketahui bahawa biasanya orang yang suka menggelabah jalan fikirannya sebagaimana anggapan negetif terhadap Ulama' Tasauf/ Tariqat itu adalah akibat adanya kekurangan pengertian terhadap masalahnya. Sedangkan faktor-faktor yang mendorong timbulnya fikiran semacam itu antara lain adalah sebagai berikut :

A. Adanya pendangkalan pengertian tentang Islam, seringkali hal ini menyebabkan Islam hanya dilihat dari satu dimensi tidak secara keseluruhan dan bulat.

B. Adanya ilmu-ilmu yang diperoleh tidak pada Guru Mursyid atau Syeikh, melainkan diambilkan dari hasil membaca buku-buku dengan upaya sendiri. Akibatnya jalan fikiran benyak dipengaruhi oleh hawa nafsu.

C. Mereka cenderung mengambil dasar-dasar fikiran di dalam mengungkap Islam justeru bersumber dari dasar-dasar fikiran kaum "rasionalis matrialisme", yakni fahaman yang beranggapan segala sesuatu dalam hidup harus dapat dipecahkan secara rasional dan dapat dilihat oleh pancaindera. Dasar teori "rasionalis matrialisme" inilah yang sering dipergunakan landasan berfikir kaum orientalis di dalam membahas tentang hal ke Timuran yakni tentang Islam dari berbagai aspeknya.

D. Mereka mudah mengeluarkan fatwa "Mari kembali kepada Al-Quran dan Al-Hadis", tetapi mereka sendiri banyak menyimpang dari tuntutan yang semestinya tercantum di dalam Al-Quran dan Al-Hadis itu sendiri.

E. Adanya faktor alat-alat pelengkapan yang sangat dirasa kurang sekali, untuk keperluan mengadakan pembongkaran dan penelitian terhadap konstruksi bahasa Islam (Bahasa Arab). Seperti tidak menguasai Ilmu Lughat dengan Qawaidnya, Ilmu Hadis dengan Musthalahnya, Ilmu Balaghah, Badi', Bayan dan Ma'aninya, dan lain-lain. Akibat yang ditimbulkan oleh kekurangan ini ialah
mereka sering mengalami kesulitan di dalam memahami dan membahas kalam Al-Quran yang banyak berbentuk fasekh, baligh dan bahkan banyak yang majaz.

Faktor-faktor di atas itulah di antara penyebab mereka mudah tergelincir dalam kekeliruan yang tiada dirasa. Oleh kerana itu tidak mustahil mereka dengan mudah tanpa ambil pusing terus cepat-cepat melontarkan anggapan bahawa para ahli Tasauf/Tariqat adalah sebagai orang yang hanya akan
mengajak ummat atau jamaah untuk menjadi sesat dan bahkan dapat berakibat syirik dan kafir. Na'uzubillah himin zalik!

Padahal dengan penjelasan tentang dasar hukum dan tujuan Tasauf/Tariqat Mu'tabarah di muka tadi, adalah jelas sentiasa sesuai dan berdiri tegak di atas tuntunan dan petunjuk langsung baik dari Al-Quran maupun Al-Hadis.

Wallahu ta'ala a'lam.......

Wassalamu.......

Read More...

Sunday, October 29, 2006

DASAR HUKUM TASAUF/TARIQAT


DALAM pembahasan masalah dasar hukum Tasauf/Tariqat ini, sebenarnya dapat dilihat melalui beberapa segi yang terdapat di dalam Tasauf/Tariqat itu sendiri, sehingga dari sini aan dapat diketahui secara jelas tentang kedudukan hukumnya di dalam Islam. Di samping itu juga untuk menghindarkan

adanya penilaian yang negatif terhadap Tasauf/Tariqat.

Menurut penyelidikan para Ulama' ahli Sufi yang mu'tabarah, sebenarnya dasar hukum Tasauf/Tariqat dapat dilihat dari segi-segi yang antara lain adalah sebagai berikut :


Pertama : Dari segi existetensi amalan tersebut yang bertujuan hendak mencapai pelaksanaan syariat secara tertib dan teratur serta teguh di atas norma-norma yang semestinya dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala, yang bermaksud :

"Dan bahawasanya, jikalau tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam) benar-benar Kami akan memberikan minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak)."[Al-Jin : 16]

Ayat ini oleh para Ulama' ahli Sufi dijadikan pegangan hukum dasar melaksanakan amalan-amalan yang diajarkan. Meskipun masih ada sebahagian orang yang menentang dijadikannya ayat itu sebagai dasar hukum tersebut (Tasauf).

Menurut tinjauan Ulama' Sufi ayat di atas secara formal (bunyi lafaznya) mahu pun material (isi yang tersirat di dalamnya) adalah jelas merupakan tempat sumber hukum diizinkan melaksanakan amalan-amalan kerohanian. Kerana dengan mengamalkan Tasauf/Tariqat akan dapat diperoleh tujuan melaksanakan syariat Islam yang sebenar-benarnya sesuai dengan yang mesti dikehendaki
oleh Allah dan Rasul-Nya.

Kedua : Dari segi materi pokok amalan Tasauf/Tariqat yang berupa wirid zikrullah, baik yang dilakukan secara Mulazamah iaitu secara terus-menerus, ataupun yang dilakukan secara Mukhalafah maksudnya terus menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat membawa akibat lupa kepada Allah.

Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala, bermaksud :

"Hai orang-orang yang berIman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang."[Al-Ahzab : 41-42]

Melihat maksud ayat ini, maka jelas bahawa Allah telah memerintahkan kepada sekalian orang yang beriman untuk tetap sentiasa berzikir dan bertasbih dengan menyebut nama "Allah" baik dilakukan pada waktu pagi atau petang, siang atau malam.

Jadi amalan zikir sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah Ta'ala tersebut adalah jelas bersifat "Muthlaq" yang belum nampak ada "Qayyid" nya. Dalam erti bahawa syariat zikir, bentuk asal hukumnya masih global. Rasulullah SAW sendiri tidak banyak memberikan perincian atau "Qayyid", baik yang berbentuk syarat-syarat, rukun-rukun ataupun kifiat-kifiat.

Dari sini maka tugas ummat inilah yang diberi kuasa untuk menciptakan syarat, rukun, dan kifiat-kifiat zikrullah asalkan ianya tidak menyimpang dari tuntutan syara' secara prinsipil. Itulah sebabnya maka para Ulama' Sufi sama menciptakan zikrullah dengan syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu serta bentuk kifiat yang bermacam-macam. Misalnya tentang waktunya, jumlahnya, cara membacanya dan sebagainya.

Ketiga : Dari segi sasaran pokok yang hendak dicapai dalam mengamalkan Tasauf/Tariqat yakni terwujudnya rasa cinta antara hamba dengan Allah lantaran ketekunan dan keikhlasan dalam menjalankan syariat-Nya secara utuh dan terasa indah oleh pantulan sinar cahaya Allah.

Selanjutnya laki-laki tersebut bertanya lagi kepada Nabi : Apakah Islam itu? Jawab Nabi : Islam ialah menyembah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya, mengerjakan solat (fardhu), menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi kepada diri Nabi : Apakah Ikhsan itu? Jawab Nabi : Ikhsan iaitu keadaan engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, sekiranya engkau tidak melihat-Nya maka Allah melihat engkau."[HR. Bukhari]

Dalam Hadis ini dapat difahami adanya beberapa pengertian bahawa kehidupan agama dalam jiwa seseorang akan menjadi sempurna jika dapat dikumpulkan tiga faktor pokok yang sangat menentukan, iaitu Iman, Islam dan Ikhsan. Masing-masing dapat dicapai lantaran mempelajari dan memahami serta mengamalkan ilmu-ilmu yang membicarakan tentang masalahnya. Para Ulama' dari
kalangan aliran/mazhab apa pun sama berpendirian bahawa faktor Iman dapat dipelajari daripada ilmu pengetahuan yang dinamakan Ilmu Usuluddin atau Ilmu Kalam atau juga Ilmu Tauhid. Sedang Islam dapat dipelajari daripada Ilmu Fiqeh atau sering juga dikenal dengan sebutan Ilmu Syariat. Demikian pula halnya dengan Ikhsan dapat dicapai dengan mempelajari dan mengamalkan Ilmu
Tasauf/Tariqat.

Iman, Islam dan Ikhsan, ketiganya berkaitan erat dalam mencapai sasaran pokok yakni "Mengenal Allah untuk diyakini". Hal ini menuntut terwujudnya sikap tindak perbuatan nyata dalam hidup ini, sebagai bukti kepatuhan melaksanakan segala yang diperintah, dikerjakan dan yang dilarang
ditinggalkan dengan penuh ikhlas kerana Allah semata disertai penuh rasa cinta terhadap-Nya. Manakala keadaan semacam ini sudah sampai pada puncaknya maka akan tercapailah hakikat tujuan hidup yang sebenarnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah sendiri pada syariat yang dibawa Muhammad SAW.


Read More...

TUJUAN MENGAMALKAN TASAUF/TARIQAT


AMALAN Tasauf/Tariqat sebagaimana yang lazim dikerjakan oleh para jamaah, sebenarnya banyak sekali tujuan yang hendak diperoleh antara lain iaitu :



1. Dengan mengamalkan Tasauf/Tariqat bererti mengadakan latihan jiwa (Riadhah) dan berjuang melawan hawa nafsu (Mujahadah), membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan diisi dengan sifat-sifat terpuji dengan melalui perbaikan budi pekeri dalam berbagai seginya.

2. Selalu dapat mewujudkan rasa ingat kepada Allah Zat Yang Maha Besar dan Maha Kuasa atas segalanya dengan melalui jalan mengamalkan wirid dan zikir disertai tafakkur yang secara terus menerus dikerjakan.

3. Dari sini timbul perasaan takut kepada Allah sehingga timbul pula dalam diri seseorang itu suatu usaha untuk menghindarkan diri dari segala macam pengaruh duniawi yang dapat menyebabkan lupa kepada Allah.

4. Jika hal itu semua dapat dilakukan dengan penuh ikhlas dan ketaatan kepada Allah, maka tidak mustahil akan dapat dicapai suatu tingkat alam ma'rifat, sehingga dapat pula diketahui segala rahsia di balik tabir cahaya Allah dan Rasul-Nya secara terang-benderang.

5. Akhirnya dapat diperoleh apa yang sebenarnya menjadi tujuan hidup ini.

Demikian antara lain beberapa tujuan yang akan diperoleh bagi setiap orang yang mengamalkan Tasauf/Tariqat. Jelasnya ia akan dapat mengerjakan syariat Allah dan Rasul-Nya dengan melalui jalan atau sistem yang menghantarkan tercapainya tujuan hakikat yang sebenarnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh syariat itu sendiri.

Sama sekali tiada tujuan negatif yang terselit di dalamnya, sehingga dapat menggelincirkan ummat untuk jatuh ke dalam kesesatan. Sebagaimana yang sering dituduhkan oleh orang-orang yang belum mengetahui seluk-beluk ilmu Tasauf/Tariqat. Mereka dengan gaya gegabah berani melontarkan perasangka buruk terhadap Ulama'-ulama ahli Sufi dikatakan sebagai orang yang mengajarkan amalan-amalan yang menyerupai ibadah yang tidak pernah dijumpai tuntunannya, baik dari Allah mahu pun Rasul-Nya.

Apa yang dituduhkan mereka itu justeru berbalik dengan kenyataan, bahawa para Ulama' ahli Sufi yang telah lama mengajarkan amalan-amalan baik tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Mereka para Ulama' Guru dan Syeikh sama mengajarkan amalan Tasauf/Tariqat yang sentiasa bersumber dari ajaran Al-Quran dan Al-Hadis yang diterima secara ittishal sampai kepada beliau Rasulullah SAW sendiri. Bahkan apa yang hendak dicapai oleh ajaran kesufian ini telah jelas sekali yakni mengerjakan syariat dengan jalan yang teratur sesuai dengan semestinya guna memperoleh tujuan hakikat hidup yang sebenar-benarnya.


Read More...

TASAUF/TARIQAT TERMASUK ILMU MUKASYAFAH


TASAUF/TARIQAT TERMASUK ILMU MUKASYAFAH

PENYAMPAI ilmu Tasauf/Tariqat memang sukar atau susah dapat difahami oleh akal manusia biasa, kerana erti maksudnya terlampau seni. Itu sebablah hampir saja di seluruh kalangan para ahli Sufi berpendapat, bahawa sebenarnya Tariqat/Tasauf itu adalah termasuk ke dalam kerangka Ilmu
Mukasyafah atau ilmu "Di Sebalik Tabir" yang dapat memancarkan cahaya ke dalam hati para penganutnya (pengamal). Sehingga dengan cahaya (Nur) itu terbukalah segala sesuatu yang ada di balik rahsia ucapan-ucapan Nabi dan demikian pula halnya terhadap segala sesuatu yang ada di balik rahsia cahaya Allah.

Ilmu Mukasyafah tidak begitu sahaja mudah dipelajari, kecuali bila ditempuh dengan melalui jalan latihan batin (Riyadhah) dan perjuangan melawan hawa nafsu (Mujahadah).


Dengan kesungguhan menempuh jalan yang demikian ini, maka sedikit demi sedikit akan menjadi terbuka segala yang ghaib di balik hijab yang mendinding antara hamba dengan Tuhannya, sehingga dapatlah bermusyahadah (menyaksikan sendiri). Dengan penglihatan hati (Musyahadatul Qalbi) bukan dengan penglihatan mata. Sebab penglihatan mata ini, hanyalah merupakan alat belaka dari penglihatan hati. Buta dalam perkara ini bukanlah buta mata, tetapi buta hati dalam dada.

Dari sinilah maka sesungguhnya syariat yang dikerjakan dapat berjalan di atas landasan yang lurus, tidak terpeleset jatuh ke dalam jurang kesesatan, sehingga terhalang untuk dapat sampai kepada yang dituju. Yakni untuk siapa sebenarnya syariat itu dikerjakan. Jawabnya : "Hanya untuk Allah" yang
dituju.

Demikian yang ada pada akhirnya manusia ini akan dapat menemukan hakikat kebenaran hidup yang sejati.

Read More...

MAKNA TARIQAT


MAKNA TARIQAT

Pengertian "Tariqat" - menurut bahasa ertinya "jalan", "cara", "garis", "kedudukan", "keyakinan" dan "agama".

Kamus Dewan (edisi baru) Kuala Lumpur tahun 1989, menyatakan bahawa "Tarekat" ialah

1. jalan;
2. jalan untuk mencapai kebenaran (dalam tasauf);
3. tertib hidup (mengikut peraturan agama atau ilmu kebatinan);
4. perkumpulan penuntut ilmu tasauf.
Kamus "Modern Dictionary Arabic - English" oleh Elias Anton dan Edward Elias, edisi IX, Cairo tahun 1954 menyatakan bahawa "Tariqat" ialah "way" (cara atau jalan) "methode" dan sistem of belief" (methoda dan satu sistem kepercayaan).
Kata "Tariqat" disebutkan Allah dalam Al-Quran sebanyak 9 kali dalam 5 Surah, dengan mengandungi beberapa erti sebagai berikut :



MAKNA TARIQAT

Pengertian "Tariqat" - menurut bahasa ertinya "jalan", "cara", "garis", "kedudukan", "keyakinan" dan "agama".

Kamus Dewan (edisi baru) Kuala Lumpur tahun 1989, menyatakan bahawa "Tarekat" ialah

1. jalan;
2. jalan untuk mencapai kebenaran (dalam tasauf);
3. tertib hidup (mengikut peraturan agama atau ilmu kebatinan);
4. perkumpulan penuntut ilmu tasauf.
Kamus "Modern Dictionary Arabic - English" oleh Elias Anton dan Edward Elias, edisi IX, Cairo tahun 1954 menyatakan bahawa "Tariqat" ialah "way" (cara atau jalan) "methode" dan sistem of belief" (methoda dan satu sistem kepercayaan).
Kata "Tariqat" disebutkan Allah dalam Al-Quran sebanyak 9 kali dalam 5 Surah, dengan mengandungi beberapa erti sebagai berikut :

1. Surah An-Nisa' : 168 -

Maksudnya : "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka."


2. Surah An-Nisa' : 169 -

Maksudnya : "Melainkan jalan ke Neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."

3. Surah Thoha : 63 -

Maksudnya : "Mereka berkata : "Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan "kedudukan" kamu yang utama."

Ayat itu menerangkan kedatangan Nabi Musa a.s. dan Harun ke Mesir, akan menggantikan Bani Israil sebagai penguasa di Mesir. Sebahagian ahli tafsir mengertikan "Tariqat" dalam ayat ini dengan "keyakinan" (Agama)."

Menurut Ibnu Manzhur (630 - 711H) dalam kitabnya "Lisanul Arab" jilid 12 halaman 91, erti "Tariqat" dalam ayat itu adalah "ar-rijalul asyraf", bermakna "tokoh-tokoh terkemuka".

Jadi ayat itu bererti, kedatangan Nabi Musa dan Harun ke Mesir adalah untuk mengusir kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan jamaah atau tokoh-tokoh terkemuka kamu."

Lebih jauh Ibnu Manzhur menyatakan "hadza thariqatu Qaumihi"...ertinya "inilah tokoh-tokoh pilihan kaumnya."

Al-Akhfasy menyatakan "bithariqatikumul mutsla" ertinya "dengan Sunnah dan agama kamu yang tinggi."

"Tariqat" bererti juga "al-khaththu fis-syai-i"...ertinya "garis pada sesuatu."

"Thariqatul baidhi"...ertinya "garis-garis yang terdapat pada telur."

"Thariqatul romal"...ertinya "sesuatu yang memanjang dari pasir - ma imtadda minhu."

Al-Laits menyatakan "Tariqat" ialah "tiap garis di atas tanah, atau jenis pakaian, atau pakaian yang koyak-koyak. Itulah "Tariqat"nya.

"Tariqat" jama'nya "tharaiq", bererti "tenunan dari bulu", berukuran 4 sampai 8 hasta kali satu hasta, dipertautkan sehelai demi sehelai."

Menurut Tafsir "Al-Jamal" jilid 3, hal. 99, "bithariqatikumul mutsla"...dalam Surah Thoha : 63 itu, ertinya "bi-asyrafikum", bermakna "dengan orang terkemuka kamu." Kata "Tariqat" itu dipergunakan untuk tokoh-tokoh terkemuka, kerana mereka itu menjadi ikutan dan anutan orang
banyak, sebagaimana diertikan juga demikian oleh Abu As-Su'ud.

Dalam "Mukhtarus Shihhah", disebutkan "wa thariqatul qaumi" ialah "amatsiluhum dan jiaduhum", ertinya "orang-orang besar dan terbaik di antara mereka."

"At-thariqatu" diertikan juga "syariful qaumi", bermakna "tokoh terjormat suatu kaum".

Tafsir Ibnu Katsir jilid 3, hal. 157 menyatakan, "bi thariqatikumul mutsla" itu dengan "wa hia as-sihru", ertinya "sihir".

Ibnu Abbas mengertikannya dengan "kerajaan mereka yang mereka bekerja dan mencari kehidupan di dalamnya."

As-Sya'bi menafsirkannya dengan "Harun dan Musa memalingkan perhatian orang banyak kepada mereka."

Mujahid mengertikannya dengan "orang-orang terkemuka, cerdas dan lanjut usia di antara mereka."

Abu Shaleh mengertikannya dengan "orang-orang mulia di antara kamu."

'Ikrimah mengertikannya dengan "orang-orang terbaik di antara kamu."

Qatadah menyatakan "bithariqatikumul mutsla" mereka pada masa itu adalah Bani Israil.

Abdurrahman bin Zaid mengertikannya dengan "Billadzi antum 'alaihi"...ertinya "dengan yang kamu berada di atasnya."

Tafsir Al-Kahzin jilid 3, hal. 273, mentafsirkan ayat itu dengan "yudzahiba bi sunnatikum wa bi dinukum al-ladzi antum 'alaihi", bermakna "Keduanya, yakni Musa dan Harun akan melenyapkan sunnah dan agama kamu yang kamu anut."

Tafsir Al-Baghawi jilid 4, hal. 273, orang Arab menyatakan "fulanun 'alat thariqatil mutsla", maksudnya ialah "ala shirathim mustaqim", bererti si Anu berada atas jalan yang lurus.

4. Surah Thoha : 77 -

Maksudnya : "Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa : Pergilah kamu dengan hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka "jalan" yang kering di laut itu, kamu tidak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)."

Kata-kata "Tariqat" dalam ayat itu bererti "jalan" di laut, dan terbelahnya Lautan Merah untuk jalan bagi Nabi Musa dan pengikut-pengikutnya itu terjadi setelah memukulkan tongkatnya.

5. Surah Thoha : 104 -

Maksudnya : "Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan ketika berkata "orang yang paling lurus" jalannya di antara mereka : "Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari sahaja."

Adapun yang dimaksudkan dengan "lurus jalannya" dalam ayat itu ialah orang yang agak lurus fikirannya atau amalannya di antara orang-orang yang berdosa itu.

6. Surah Al-Ahqaf : 30 -

Maksudnya : "Mereka berkata : "Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengar kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada "jalan" yang lurus."

7. Surah Al-Mukminun : 17 -

Maksudnya : "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit) dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).

8. Surah Al-Jin : 11 -

Maksudnya : "Dan sesungguhnya di antara kami dan orang-orang yang soleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adakah kami menempuh "jalan yang berbeda-beda?"

Al-Farra' mengertikan "kunna Tharaiqa qidada" dalam ayat itu dengan "kunna Firaqan mukhtalifah", bermakna adalah kami beberapa kelompok yang berbeda-beda.

9. Surah Al-Jin : 16 -

Maksudnya : "Dan bahawasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak)."

Kata "Tariqat" dalam ayat itu bererti "agama Islam".

Demikianlah beberapa makna kata "Tariqat" dari segi bahasa.


Tariqat Menurut Kalangan Sufi

Adapun "Tariqat" menurut istilah Ulama' Tasauf :

1. "Jalan kepada Allah dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fiqah dan Tasauf".
["Al-Ayatul Baiyinat" hal. 23, oleh Syeikh Ahmad Khathib.]

2. "Cara atau kaifiat mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai sesuatu tujuan."
["Ilmu Tariqat Dan Hakikat" hal. 69, oleh T.H. Abdullah Ujong Rimba]

Berdasarkan beberapa definasi yang tersebut di atas, jelaslah bahawa Tariqat adalah suatu jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fiqih dan Tasauf.

Sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah dan yang dicontohkan beliau serta dikerjakan oleh para Sahabatnya, Tabi'in, Tabi'it Tabi'in dan terus turun-temurun sampai kepada Guru-guru, Ulama'-ulama' secara bersambung-sambung dan bersantai hingga pada masa kita ini.

Suatu contoh dapat diketahui, bahawa di dalam Al-Quran hanya dapat dijumpai adanya ketentuan kewajipan solat (sembahyang), tetapi tidak ada satu ayat pun yang memberikan perincian tentang raka'at solat tersebut. Misalnya saja solat Zohor sebanyak 4 rakaat, Asar 4 rakaat, Maghrib 3 rakaat, Isya' 4 rakaat dan Subuh 2 rakaat. Demikian pula terhadap syarat dan rukunnya
solat-solat tersebut. Rasulullah SAW lah sebagai orang pertama yang memberikan contoh-contoh dan cara-cara mengerjakan solat-solat maktubah itu dengan melalui perbuatan yang ditunjukkan dan ditiru oleh para Sahabatnya terus turun-temurun sampai kepada kita ini lewat pelajaran-pelajaran dan petunjuk yang diberikan oleh para Guru, Syeikh dan para Ulama'.

Hal ini bukan bererti, bahawa Al-Quran sebagai sumber pokok hukum dalam Islam itu tidak lengkap, Sunnah Rasul dan Ilmu Fiqeh yang disusun oleh para Ulama' tidak sempurna, akan tetapi sebetulnya masih banyak penjelasan yang diperlukan ummat agar perlaksanaan peraturan dan ketentuan Allah dan Rasul-Nya dapat menurut penerimaan atau penangkapan akal bagi orang yang hanya mampu membaca, menghayati dan memahami yang pada puncaknya orang ini akan mengerjakan syariat Islam sesuai dengan kemauan hawa nafsunya sendiri.

Read More...

Thursday, October 26, 2006

Madrasah Kuala Kubu Baru, Selangor


Markas : SP II Sei Pagar Babussalam, Sumatra, Indonesia

INILAH SALASILAH TARIQAT NAQSYABANDIYAH YANG TURUN DARI BABUSSALAM TANJUNG PURA (LANGKAT),SUMATERA UTARA INDONESIA.

Rahsia Tariqat Naqsyabandiyah ini, diturunkan Allah Subhanahuwataala dengan Perantaraan Jibril Alaihissalam Kepada:
INILAH SALASILAH TARIQAT NAQSYABANDIYAH Al KHOLIDIAH.

Rahsia Tariqat Naqsyabandiyah ini, diturunkan Allah Subhanahuwataala dengan Perantaraan Jibril Alaihissalam Kepada:

1) Saidul Mursalin Saidina Muhammad s.a.w.
2) Saidina Abu Bakar as-Siddiq
3) Sheikh Salman Farisi
4) Sheikh Qasim b Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq
5) Sheikh Jaafar Siddiq
6) Sheikh Abu Yazid Thoifur Bistami
7) Sheikh Abu Hassan Khorqoni
8) Sheikh Abi Ali Farmidi
9) Sheikh Abu Yaqub Yusuf Hamadani
10) Sheikh Abdul Khalik Ghujdawani
11) Sheikh Arif Riyukuri
12) Sheikh Mahmud al Anjari Faghnawi.
13) Sheikh Azizan Ali Ramaitani
14) Sheikh Muhammad Babus Samasi
15) Sheikh Sayyid Amir Kullaal
16) Sheikh Bahaudin Shah Naqsyabandi
17) Sheikh Muhammad Alauddin Attori
18) Sheikh Yaakub al Charkhi
19) Sheikh Nashiruddin Ubaidullah al Ahrar
20) Sheikh Muhammad az Zahid
21) Sheikh Darwis Muhammad
22) Sheikh Muhammad Khawajaki al-Amkanaki
23) Sheikh Muhammad Baqi Billah
24) Sheikh Mujaddid Alaf-thani Ahmad al Faruqi as-Sirhindi
25) Sheikh Muhammad Maksum
26) Sheikh Syaifuddin
27) Sheikh Nur Muhammad al Badawani
28) Sheikh Mirza Mazhar Shamsudin Habibullah Jaanijanaani
29) Sheikh Shah Ghulam Ali Abdullah Dahlawi
30) Sheikh Dhiyaauddien Khalid Kurdi
31)Sheikh Abdullah Effendi Jabal Qubais
32) Sheikh Sulaiman Kurumi Jabal Qubais
33) Sheikh Sulaiman Zuhdi Jabal Qubais
34) Sheikh Abdul Wahab Babussalam Langkat ... Sumatra.... 1811-1926
35) Syeikh Daud Abdul Wahab Langkat 1391 h/1971 m
36) Syeikh Tajuddin Mudawar Daud (cucu Tuan Sheikh Abdul Wahab Rokan).

Murshid:
Syeikh Tajuddin Mudawar Daud

Markas dan Pusat Suluk:
SP II Sei Pagar Babussalam, Sumatra

Cawangan:
Kampung Tanah Merah Jitra, Kedah
Wakil Murshid : Tuan Guru Mohd. Yatim

Rumah suluk Air Tawar Perak
Wakil Murshid : Ustaz Mustapha

Pasir Mas, Kelantan
Wakil Mursyid : Ustaz Abdullah Isa

Kuala Kubu Bharu, Hulu Selangor
Wakil Mursyid : tiada maklumat.

Read More...